Saturday, October 25, 2008

HIV-AIDS

Penyakit infeksi memang telah menjadi salah satu “langganan” penyebab kematian di dunia. Penyakit infeksi disebabkan oleh berbagai jenis kuman dan parasit. Meskipun telah melewati beberapa dekade dengan kemajuan yang dramatis dalam pengobatan dan pencegahannya, penyakit infeksi masih saja bertanggung jawab atas semakin buruknya kondisi kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Berbagai penyebab infeksi dan timbulnya gejala merupakan hal yang dipertimbangkan dalam penyusunan diagnosis banding untuk berbagai sindroma yang mengenai setiap sistem organ Hal ini sering menjadi tantangan bagi keterampilan dokter dalam membuat diagnosis dengan melibatkan sejumlah besar sistem organ. Seperti halnya yang terjadi pada penyakit HIV yang sering kali melibatkan sejumlah besar sistem organ. HIV sudah menjadi masalah besar bagi masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Sampai Juli 1993 telah dilaporkan sekitar 718.894 kasus HIV AIDS dari 182 negara di dunia ke WHO (Merati, 1996)


HIV AIDS
Etiologi
Virus HIV termasuk Netrovirus yang sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh, virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau peralatan lain (Zulkifli, 2004).

Patogenesis
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfositpenolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun:
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS.
3. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang (Anonim, 2007).

Manifestasi Klinik
Masa Inkubasi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa literatur di katakan bahwa melalui transfusi darah masa inkubasi kira-kira 4,5 tahun, sedangkan pada penderita homoseksual 2 -5 tahun, pada anak- anak rata – rata 21 bulan dan pada orang dewasa 60 bulan. (Zulkifli, 2004)
Dari 6700 laki -laki hokoseksual / biseksual si San Francisco dilakukan studi Cohort, 36% dari infekssi HIV setelah 88 bulan menjaddi penderita AIDS, sedangkan 20% sama sekali tidak ada timbul gejala AIDS.Gejala penderita AIDS dapat timbul dari ringan sampai berat, bahan di Amerika Serikat ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus HIV tanpa gejala klinis (Zulkifli, 2004).
Ada terdapat 5 stadium penyakit AIDS, yaitu:
1. Gejala awal stadium infeksi yaitu : demam, kelemahan, nyeri sendi, nyeri tenggorok, dan pembesaran kelenjaran getah bening
2. Stadium tanpa gejala
Stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV.
3. Gejala stadium ARC
• Demam lebih dari 38°C secara berkala atau terus.
• Menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan.
• Pembesaran kelenjar getah bening.
• Diare mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas.
• Kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik.
• Keringat malam.
4. Gejala AIDS
• Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut Sarkoma Kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) juga adanya kanker kelenjar getah bening.
• Terdapat infeksi penyakit penyerta misalnya pneomonia, pneu-mocystis,TBC, serta penyakit infeksi lainnya seperti teksoplasmosis.
5. Gejala gangguan susunan saraf
Contoh: Lupa ingatan, kesadaran menurun, perubahan kepribadian, gejala–gejala peradangan otak atau selaput otak, dan kelumpuhan.
(Zulkifli, 2004)
Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS:
1. Thrush.
Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul.
Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal.
2. Pneumonia pneumokistik.
Pneumonia karena jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS.
Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV
3. Toksoplasmosis.
Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS.
Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak.
4. Tuberkulosis.
Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan.
Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut.
Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan.
5. Infeksi saluran pencernaan.
Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar.
Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan.
6. Leukoensefalopati multifokal progresif.
Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita.
Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan.
Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal.
7. Infeksi oleh sitomegalovirus.
Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan.
Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus.
8. Sarkoma Kaposi.
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit.
Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual.
9. Kanker.
Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam.
Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks.
Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum (Anonim, 2007).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang relatif sederhana dan akurat adalah pemeriksaan darah yang disebut tes ELISA. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya antibodi terhadap HIV, hasil tes secara rutin diperkuat dengan tes yang lebih akurat. Ada suatu periode (beberapa minggu atau lebih setelah terinfeksi HI) dimana antibodi belum positif. Pada periode ini dilakukan pemeriksaan yang sangat sensitif untuk mendeteksi virus, yaitu antigen P24 . Antigen P24 belakangan ini digunakan untuk menyaringan darah yang disumbangkan untuk keperluan transfusi. Jika hasil tes ELISA menunjukkan adanya infeksi HIV, maka pada contoh darah yang sama dilakukan tes ELISA ulangan untuk memastikannya. Jika hasil tes ELISA yang kedua juga positif, maka langkah berikutnya adalah memperkuat diagnosis dengan tes darah yang lebih akurat dan lebih mahal, yaitu tes apusan Western. Tes ini juga bisam enentukan adanya antibodi terhadap HIV, tetapi lebih spesifik daripada ELISA. Jika hasil tes Western juga positif, maka dapat dipastikan orang tersebut terinfeksi HIV (Anonim, 2007).

Penatalaksanaan
Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV:
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- AZT (zidovudin)
- ddI (didanosin)
- ddC (zalsitabin)
- d4T (stavudin)
- 3TC (lamivudin)
- Abakavir
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- Nevirapin
- Delavirdin
- Efavirenz
3. Protease inhibitor
- Saquinavir
- Ritonavir
- Indinavir
- Nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun. AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal.Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch). (Anonim, 2007)
Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang. (Anonim, 2007)

SEPSIS

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi yang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Dalam skenario disebutkan tanda utama sepsis berupa peningkatan denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu badan meningkat. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sepsis dan komplikasi yang mungkin terjadi, maka dalam laporan yang dibuat berdasarkan hasil diskusi dan bersumber dari beberapa literatur ilmiah, penulis ingin memberikan sedikit informasi mengenai sepsis tersebut.

Sepsis merupakan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) yang disertai dugaan adanya infeksi dan ditemukannya tempat infeksi. Sepsis adalah suatu respon inflamasi yang dipengaruhi oleh sitokin dan mediator lain, menyebabkan gangguan endotel (peningkatan permeabilitas, vasodilatasi/konstriksi, mikroemboli), depresi miokard, gangguan mikrosirkulasi yang menyebabkan disfungsi multipel organ. Secara umum diakibatkan pelepasan endotoksin kuman gram negatif. Sepsis didahului dengan adanya infeksi. Pasien akan datang dengan keluhan pokok sesuai dengan penyakit pencetusnya.
Seorang pasien dikatakan sepsis jika memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut :
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau turun 40 mmHg dari tekanan awal
- Suhu badan > 380C atau < 360C
- Denyut nadi > 90 x/ menit
- RR : > 20x/menit
- leukosit > 12.000/mm3 atau < 4000/ mm3
- sel-sel muda (batang) > 10%
Tanda utama lainnya yang terjadi pada pasien yang mengalami sepsis berat adalah oliguri dan tanda asidosis. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Sepsis umumnya terjadi pada usia lanjut, malnutrisi , penyakit berat, kehamilan, terapi imunosupresi, neoplasma, trauma/luka bakar, penyakit induksi ginekolog, dan penyakit infeksi gastrointestinal. Untuk menegakkan diagnosis maka pada konferensi internasional ditambahkan petanda biomolekuler, yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP) sebagai langkah awal diagnosis sepsis.
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakteremia.(Sudoyo, 2006)
Bakteri gram negatif yang menyebabkan sepsis memiliki lipopolisakarida yang mengawali terjadinya tanda sepsis. Lipopolisakarida (LPS) akan membentuk suatu kompleks yang disebut LPS binding protein complex. Kompleks ini akan dikenali oleh reseptor makrofag disebut CD 14. CD 14 akan menginisiasi sinyal intrasitoplasma yang akan menghasilkan tanslokasi nuclear factor kappa B (NF-?B) ke dalam nukleus. NF-?B adalah faktor yang menyebabkan makrofag mengeluarkan sitokin seperti TNF α, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, faktor aktivasi trombosit, dan IFN. Sitokin ini bersama komponen imun yang lain akan menyebabkan berbagai keadaan sebagai tanda syok septik. Contohnya adalah TNF α akan menyebabkan vasodilatasi, hipotensi, dan demam. (Wilson, 2001)
Pada pemeriksaan laboratorium untuk sepsis awal ditandai dengan leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Mortalitas akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah gejala dan beratnya proses penyakit.
Dalam melaksanakan terapi kasus sepsis harus mengacu pada tiga prioritas utama, yaitu stabilitas pasien langsung, membersihkan darah dari mikroorganisme, dan terapi obat. Istirahat merupakan hal yang harus dilakukan, langkah ini disertai dengan pemberian cairan dan elektrolit yang cukup : kristaloid dan koloid, memantau hematokrit < 30 %; transfusi PRC, nafas : bantuan mekanis bila frekuensi pernafasan > 30x/menit dan dangkal. Pemberian makanan harus mengandung protein dan kalori tinggi. Terakhir adalah terapi obat atau medikamentosa berupa dopamin, dobutamin,nitropusid, antimikrobial spektrum luas seperti aminoglikosid dilanjutkan sefalosporin, selain itu dapat diberikan kortikosteroid. Drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan) dapat menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait. Pencegahan dapat dilakukan dengan meghindari trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri gram negatif. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah gagal ginjal akut, perdarahan usus, sindrom distres pernafasan dewasa, koagulasi intravaskular diseminata dan beberapa komplikasi lain yang merusak kerja organ tubuh. (Sudoyo, 2006)