Saturday, October 25, 2008

HIV-AIDS

Penyakit infeksi memang telah menjadi salah satu “langganan” penyebab kematian di dunia. Penyakit infeksi disebabkan oleh berbagai jenis kuman dan parasit. Meskipun telah melewati beberapa dekade dengan kemajuan yang dramatis dalam pengobatan dan pencegahannya, penyakit infeksi masih saja bertanggung jawab atas semakin buruknya kondisi kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Berbagai penyebab infeksi dan timbulnya gejala merupakan hal yang dipertimbangkan dalam penyusunan diagnosis banding untuk berbagai sindroma yang mengenai setiap sistem organ Hal ini sering menjadi tantangan bagi keterampilan dokter dalam membuat diagnosis dengan melibatkan sejumlah besar sistem organ. Seperti halnya yang terjadi pada penyakit HIV yang sering kali melibatkan sejumlah besar sistem organ. HIV sudah menjadi masalah besar bagi masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Sampai Juli 1993 telah dilaporkan sekitar 718.894 kasus HIV AIDS dari 182 negara di dunia ke WHO (Merati, 1996)


HIV AIDS
Etiologi
Virus HIV termasuk Netrovirus yang sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk menemukan obat yang dapat membunuh, virus tersebut. Daya penularan pengidap HIV tergantung pada sejumlah virus yang ada didalam darahnya, semakin tinggi/semakin banyak virus dalam darahnya semakin tinggi daya penularannya sehingga penyakitnya juga semakin parah. Virus HIV atau virus AIDS, sebagaimana Virus lainnya sebenarnya sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. Virus akan mati bila dipanaskan sampai temperatur 60° selama 30 menit, dan lebih cepat dengan mendidihkan air. Seperti kebanyakan virus lain, virus AIDS ini dapat dihancurkan dengan detergen yang dikonsentrasikan dan dapat dinonaktifkan dengan radiasi yang digunakan untuk mensterilkan peralatan medis atau peralatan lain (Zulkifli, 2004).

Patogenesis
Supaya terjadi infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfositpenolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi dan kanker.
Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun:
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu meredakan infeksi.
2. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderita AIDS.
3. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200 sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi antibodi yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang (Anonim, 2007).

Manifestasi Klinik
Masa Inkubasi penyakit ini belum diketahui secara pasti. Dalam beberapa literatur di katakan bahwa melalui transfusi darah masa inkubasi kira-kira 4,5 tahun, sedangkan pada penderita homoseksual 2 -5 tahun, pada anak- anak rata – rata 21 bulan dan pada orang dewasa 60 bulan. (Zulkifli, 2004)
Dari 6700 laki -laki hokoseksual / biseksual si San Francisco dilakukan studi Cohort, 36% dari infekssi HIV setelah 88 bulan menjaddi penderita AIDS, sedangkan 20% sama sekali tidak ada timbul gejala AIDS.Gejala penderita AIDS dapat timbul dari ringan sampai berat, bahan di Amerika Serikat ditemukan ratusan ribu orang yang dalam darahnya mengandung virus HIV tanpa gejala klinis (Zulkifli, 2004).
Ada terdapat 5 stadium penyakit AIDS, yaitu:
1. Gejala awal stadium infeksi yaitu : demam, kelemahan, nyeri sendi, nyeri tenggorok, dan pembesaran kelenjaran getah bening
2. Stadium tanpa gejala
Stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat merupakan sumber penularan infeksi HIV.
3. Gejala stadium ARC
• Demam lebih dari 38°C secara berkala atau terus.
• Menurunnya berat badan lebih dari 10% dalam waktu 3 bulan.
• Pembesaran kelenjar getah bening.
• Diare mencret yang berkala atau terus menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas.
• Kelemahan tubuh yang menurunkan aktifitas fisik.
• Keringat malam.
4. Gejala AIDS
• Gejala klinis utama yaitu terdapatnya kanker kulit yang disebut Sarkoma Kaposi (kanker pembuluh darah kapiler) juga adanya kanker kelenjar getah bening.
• Terdapat infeksi penyakit penyerta misalnya pneomonia, pneu-mocystis,TBC, serta penyakit infeksi lainnya seperti teksoplasmosis.
5. Gejala gangguan susunan saraf
Contoh: Lupa ingatan, kesadaran menurun, perubahan kepribadian, gejala–gejala peradangan otak atau selaput otak, dan kelumpuhan.
(Zulkifli, 2004)
Beberapa infeksi oportunistik dan kanker merupakan ciri khas dari munculnya AIDS:
1. Thrush.
Pertumbuhan berlebihan jamur Candida di dalam mulut, vagina atau kerongkongan, biasanya merupakan infeksi yang pertama muncul.
Infeksi jamur vagina berulang yang sulit diobati seringkali merupakan gejala dini HIV pada wanita. Tapi infeksi seperti ini juga bisa terjadi pada wanita sehat akibat berbagai faktor seperti pil KB, antibiotik dan perubahan hormonal.
2. Pneumonia pneumokistik.
Pneumonia karena jamur Pneumocystis carinii merupakan infeksi oportunistik yang sering berulang pada penderita AIDS.
Infeksi ini seringkali merupakan infeksi oportunistik serius yang pertama kali muncul dan sebelum ditemukan cara pengobatan dan pencegahannya, merupakan penyebab tersering dari kematian pada penderita infeksi HIV
3. Toksoplasmosis.
Infeksi kronis oleh Toxoplasma sering terjadi sejak masa kanak-kanak, tapi gejala hanya timbul pada sekelompok kecil penderita AIDS.
Jika terjadi pengaktivan kembali, maka Toxoplasma bisa menyebabkan infeksi hebat, terutama di otak.
4. Tuberkulosis.
Tuberkulosis pada penderita infeksi HIV, lebih sering terjadi dan bersifat lebih mematikan.
Mikobakterium jenis lain yaitu Mycobacterium avium, merupakan penyebab dari timbulnya demam, penurunan berat badan dan diare pada penderita tuberkulosa stadium lanjut.
Tuberkulosis bisa diobati dan dicegah dengan obat-obat anti tuberkulosa yang biasa digunakan.
5. Infeksi saluran pencernaan.
Infeksi saluran pencernaan oleh parasit Cryptosporidium sering ditemukan pada penderita AIDS. Parasit ini mungkin didapat dari makanan atau air yang tercemar.
Gejalanya berupa diare hebat, nyeri perut dan penurunan berat badan.
6. Leukoensefalopati multifokal progresif.
Leukoensefalopati multifokal progresif merupakan suatu infeksi virus di otak yang bisa mempengaruhi fungsi neurologis penderita.
Gejala awal biasanya berupa hilangnya kekuatan lengan atau tungkai dan hilangnya koordinasi atau keseimbangan.
Dalam beberapa hari atau minggu, penderita tidak mampu berjalan dan berdiri dan biasanya beberapa bulan kemudian penderita akan meninggal.
7. Infeksi oleh sitomegalovirus.
Infeksi ulangan cenderung terjadi pada stadium lanjut dan seringkali menyerang retina mata, menyebabkan kebutaan.
Pengobatan dengan obat anti-virus bisa mengendalikan sitomegalovirus.
8. Sarkoma Kaposi.
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor yang tidak nyeri, berwarna merah sampai ungu, berupa bercak-bercak yang menonjol di kulit.
Tumor ini terutama sering ditemukan pada pria homoseksual.
9. Kanker.
Bisa juga terjadi kanker kelenjar getah bening (limfoma) yang mula-mula muncul di otak atau organ-organ dalam.
Wanita penderita AIDS cenderung terkena kanker serviks.
Pria homoseksual juga mudah terkena kanker rektum (Anonim, 2007).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang relatif sederhana dan akurat adalah pemeriksaan darah yang disebut tes ELISA. Dengan pemeriksaan ini dapat dideteksi adanya antibodi terhadap HIV, hasil tes secara rutin diperkuat dengan tes yang lebih akurat. Ada suatu periode (beberapa minggu atau lebih setelah terinfeksi HI) dimana antibodi belum positif. Pada periode ini dilakukan pemeriksaan yang sangat sensitif untuk mendeteksi virus, yaitu antigen P24 . Antigen P24 belakangan ini digunakan untuk menyaringan darah yang disumbangkan untuk keperluan transfusi. Jika hasil tes ELISA menunjukkan adanya infeksi HIV, maka pada contoh darah yang sama dilakukan tes ELISA ulangan untuk memastikannya. Jika hasil tes ELISA yang kedua juga positif, maka langkah berikutnya adalah memperkuat diagnosis dengan tes darah yang lebih akurat dan lebih mahal, yaitu tes apusan Western. Tes ini juga bisam enentukan adanya antibodi terhadap HIV, tetapi lebih spesifik daripada ELISA. Jika hasil tes Western juga positif, maka dapat dipastikan orang tersebut terinfeksi HIV (Anonim, 2007).

Penatalaksanaan
Pada saat ini sudah banyak obat yang bisa digunakan untuk menangani infeksi HIV:
1. Nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- AZT (zidovudin)
- ddI (didanosin)
- ddC (zalsitabin)
- d4T (stavudin)
- 3TC (lamivudin)
- Abakavir
2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
- Nevirapin
- Delavirdin
- Efavirenz
3. Protease inhibitor
- Saquinavir
- Ritonavir
- Indinavir
- Nelfinavir.
Semua obat-obatan tersebut ditujukan untuk mencegah reproduksi virus sehingga memperlambat progresivitas penyakit. HIV akan segera membentuk resistensi terhadap obat-obatan tersebut bila digunakan secara tunggal. Pengobatan paling efektif adalah kombinasi antara 2 obat atau lebih, Kombinasi obat bisa memperlambat timbulnya AIDS pada penderita HIV positif dan memperpanjang harapan hidup. Dokter kadang sulit menentukan kapan dimulainya pemberian obat-obatan ini. Tapi penderita dengan kadar virus yang tinggi dalam darah harus segera diobati walaupun kadar CD4+nya masih tinggi dan penderita tidak menunjukkan gejala apapun. AZT, ddI, d4T dan ddC menyebabkan efek samping seperti nyeri abdomen, mual dan sakit kepala (terutama AZT). Penggunaan AZT terus menerus bisa merusak sumsum tulang dan menyebabkan anemia. ddI, ddC dan d4T bisa merusak saraf-saraf perifer. ddI bisa merusak pankreas. Dalam kelompok nucleoside, 3TC tampaknya mempunyai efek samping yang paling ringan. Ketiga protease inhibitor menyebabkan efek samping mual dan muntah, diare dan gangguan perut. Indinavir menyebabkan kenaikan ringan kadar enzim hati, bersifat reversibel dan tidak menimbulkan gejala, juga menyebabkan nyeri punggung hebat (kolik renalis) yang serupa dengan nyeri yang ditimbulkan batu ginjal.Ritonavir dengan pengaruhnya pada hati menyebabkan naik atau turunnya kadar obat lain dalam darah. Kelompok protease inhibitor banyak menyebabkan perubahan metabolisme tubuh seperti peningkatan kadar gula darah dan kadar lemak, serta perubahan distribusi lemak tubuh (protease paunch). (Anonim, 2007)
Penderita AIDS diberi obat-obatan untuk mencegah infeksi oportunistik. Penderita dengan kadar limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mL darah mendapatkan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol untuk mencegah pneumonia pneumokistik dan infeksi toksoplasma ke otak. Penderita dengan limfosit CD4+ kurang dari 100 sel/mL darah mendapatkan azitromisin seminggu sekali atau klaritromisin atau rifabutin setiap hari untuk mencegah infeksi Mycobacterium avium. Penderita yang bisa sembuh dari meningitis kriptokokal atau terinfeksi candida mendapatkan flukonazol jangka panjang. Penderita dengan infeksi herpes simpleks berulang mungkin memerlukan pengobatan asiklovir jangka panjang. (Anonim, 2007)

SEPSIS

Sepsis merupakan suatu respon inflamasi yang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Dalam skenario disebutkan tanda utama sepsis berupa peningkatan denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu badan meningkat. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sepsis dan komplikasi yang mungkin terjadi, maka dalam laporan yang dibuat berdasarkan hasil diskusi dan bersumber dari beberapa literatur ilmiah, penulis ingin memberikan sedikit informasi mengenai sepsis tersebut.

Sepsis merupakan SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome) yang disertai dugaan adanya infeksi dan ditemukannya tempat infeksi. Sepsis adalah suatu respon inflamasi yang dipengaruhi oleh sitokin dan mediator lain, menyebabkan gangguan endotel (peningkatan permeabilitas, vasodilatasi/konstriksi, mikroemboli), depresi miokard, gangguan mikrosirkulasi yang menyebabkan disfungsi multipel organ. Secara umum diakibatkan pelepasan endotoksin kuman gram negatif. Sepsis didahului dengan adanya infeksi. Pasien akan datang dengan keluhan pokok sesuai dengan penyakit pencetusnya.
Seorang pasien dikatakan sepsis jika memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut :
- Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau turun 40 mmHg dari tekanan awal
- Suhu badan > 380C atau < 360C
- Denyut nadi > 90 x/ menit
- RR : > 20x/menit
- leukosit > 12.000/mm3 atau < 4000/ mm3
- sel-sel muda (batang) > 10%
Tanda utama lainnya yang terjadi pada pasien yang mengalami sepsis berat adalah oliguri dan tanda asidosis. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Sepsis umumnya terjadi pada usia lanjut, malnutrisi , penyakit berat, kehamilan, terapi imunosupresi, neoplasma, trauma/luka bakar, penyakit induksi ginekolog, dan penyakit infeksi gastrointestinal. Untuk menegakkan diagnosis maka pada konferensi internasional ditambahkan petanda biomolekuler, yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein (CRP) sebagai langkah awal diagnosis sepsis.
Sebagian besar penderita sepsis menunjukkan fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakteremia.(Sudoyo, 2006)
Bakteri gram negatif yang menyebabkan sepsis memiliki lipopolisakarida yang mengawali terjadinya tanda sepsis. Lipopolisakarida (LPS) akan membentuk suatu kompleks yang disebut LPS binding protein complex. Kompleks ini akan dikenali oleh reseptor makrofag disebut CD 14. CD 14 akan menginisiasi sinyal intrasitoplasma yang akan menghasilkan tanslokasi nuclear factor kappa B (NF-?B) ke dalam nukleus. NF-?B adalah faktor yang menyebabkan makrofag mengeluarkan sitokin seperti TNF α, IL-1, IL-2, IL-6, IL-8, faktor aktivasi trombosit, dan IFN. Sitokin ini bersama komponen imun yang lain akan menyebabkan berbagai keadaan sebagai tanda syok septik. Contohnya adalah TNF α akan menyebabkan vasodilatasi, hipotensi, dan demam. (Wilson, 2001)
Pada pemeriksaan laboratorium untuk sepsis awal ditandai dengan leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Mortalitas akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah gejala dan beratnya proses penyakit.
Dalam melaksanakan terapi kasus sepsis harus mengacu pada tiga prioritas utama, yaitu stabilitas pasien langsung, membersihkan darah dari mikroorganisme, dan terapi obat. Istirahat merupakan hal yang harus dilakukan, langkah ini disertai dengan pemberian cairan dan elektrolit yang cukup : kristaloid dan koloid, memantau hematokrit < 30 %; transfusi PRC, nafas : bantuan mekanis bila frekuensi pernafasan > 30x/menit dan dangkal. Pemberian makanan harus mengandung protein dan kalori tinggi. Terakhir adalah terapi obat atau medikamentosa berupa dopamin, dobutamin,nitropusid, antimikrobial spektrum luas seperti aminoglikosid dilanjutkan sefalosporin, selain itu dapat diberikan kortikosteroid. Drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan) dapat menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait. Pencegahan dapat dilakukan dengan meghindari trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri gram negatif. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah gagal ginjal akut, perdarahan usus, sindrom distres pernafasan dewasa, koagulasi intravaskular diseminata dan beberapa komplikasi lain yang merusak kerja organ tubuh. (Sudoyo, 2006)

Tuesday, August 12, 2008

Hepatitis A

Penyakit infeksi memang telah menjadi salah satu “langganan” penyebab kematian di dunia. Penyakit infeksi disebabkan oleh berbagai jenis parasit. Meskipun telah melewati beberapa dekade dengan kemajuan yang dramatis dalam pengobatan dan pencegahannya, penyakit infeksi masih saja bertanggung jawab atas semakin buruknya kondisi kehidupan jutaan orang di seluruh dunia. Infeksi yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan diagnosis banding untuk berbagai sindroma yang mengenai setiap sistem organ, sering menjadi tantangan bagi keterampilan dokter dalam membuat diagnosis dengan melibatkan sejumlah besar sistem organ. Salah satu penyakit infeksi yang sering melanda masyarakat Indonesia adalah hepatitis A. Hepatitis A disebabkan oleh infeksi virus HAV.

Karena penyakit hepatitis A menyerang organ hati, maka ada baiknya kita membahas tentang hati.

Anatomi fisiologik hepar

Unit fungsional dasar pada hepar adalah lobulus hepar yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0,8-2 mm. Hepar manusia berisi 50.000-100.000 lobulus. Lobulus hepar terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatica dan kemudian ke vena cava. Lobulus sendiri dibentuk terutama dari banyak lempeng hepar yang memancar secara sentrifugal dari vena sentralis. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, di antara sel-sel yang berdekatan terdapat kanalikuli empedu kecil yang mengalir ke duktus empedu yang berasal dari septum fibrosa yang memisahkan lobulus hepar yang berdekatan (Guyton, 1996).
Dalam septum juga terdapat venul porta kecil yang menerima darah dari vena porta. Dari venul ini darah mengalir ke sinusoid hepar gepeng yang bercabang yang terletak di antara lempeng-lempeng hepar, dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian sel hepar terus menerus terpapar dengan darah vena porta (Guyton, 1996).
Selain vena porta, juga ditemukan arteriol hepar dalam septum interlobularis. Arteriol ini mensuplai darah arteri ke jaringan septum, dan beberapa arteriol kecil juga mengalir langsung ke sinusoid hepar, paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis (Guyton, 1996).
Sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yaitu sel endotel dan sel Kupffler.lapisan endotel sinusoid vena mempunyai pori yang sangat besar. Di bawah lapisan ini, terletak di antara sel endotel dan sel hepar, terdapat ruang jaringan yang sangat sempit yang disebut ruang Disse. Karena besarnya pori di endotel, substansi plasma bebas bergerak ke dalam ruang Disse (Guyton, 1996).

HEPATITIS A

Etiologi

Hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV atau virus entero 72). Virus hepatitis A (VHA atau virus entero 72) dapat ditemukan di dalam tinja melalui tehnik imunologi kira – kira 2 minggu sebelum ikterus sampai 1 minggu setelah timbulnya ikterus (Anonim, 2002).

Masa inkubasi sekitar 15 – 20 hari (masa ikubasi pendek), transmisi fekal oral, mudah terjadi di dalam lingkungan dengan higiene dan sanitasi yang buruk dengan penduduk yang sangat rapat, sering terjadi akibat adanya kontaminasi air dan makanan. Kelompok usia muda yang paling sering terserang (5 – 14 tahun), pria lebih banyak dari pada wanita (Anonim, 2002).

Zat anti terhadap hepatitis A (Anti HAV lgM) terjadi segera setelah perkembangan ikterus dan dapat dikenali di dalam serum penderita selama bertahun – tahun setelah infeksi, mencapai maksimum dan menetap dalam 2 – 6 bulan (Anonim, 2002).

Aspek virologi virus hepatitis A

Virus hepatitis A adalah virus RNA yang termasuk dalam golongan Picornaviridae yang semula diklasifikasikan ke dalam enterovirus 72, tetapi dengan penentuan nukleotida serta susunan asam aminonya, maka virus tersebut dimasukkan ke dalam genus baru yang disebut Heparnavirus (Hep A – RNA virus). Virus ini bersifat sitopatik sehingga berperan dalam proses terjadinya penyakit dan menerangkan keadaan tidak adanya karier pada HVA ini. VHA ini terutama bereplikasi dalam sitoplasma sel hati, dan terdiri dari 30 % RNA serta 70 % protein (Anonim, 2002).

Bentuk dan komposisi virus

Virion

Bentuk virion ini sederhana, berupa partikel sferik dengan diameter + 27 nm, tidak berselubung, terbentuk dari genom RNA rantai tunggal yang terbentuk dari 7680 nukleotida dengan kapsid di sekitaranya. Kapsid ini terdiri dari 60 sentromer yang berperan sebagai antigen yang tersusun dalam bentuk ikosahedral. Tiap sentromer dibentuk oleh 4 jenis protein (VP1 – VP4) dengan berat molekul berturut – turut 33,2 ; 27,8 ; 24,8 dan 2,8 kD. VP 1 dan VP3 adalah tempat utama untuk mengikat antibodi (Anonim, 2002).

Virus hepatitis A (VHA) ini lebih stabil dibandingkan picornavirus lainnya, tahan panas pada 60o C selama 1 jam dan tahan terhadap asam dan ether. RNA sangat berperan untuk kestabilan virion ini (Anonim, 2002).

Gejala klinis

Kadang bisa saja seorang yang terinfeksi HAV tidak menunjukkan gejala yang berarti, namun walaupun ditemukan kejadian seperti ini feses dari orang tersebut tetaplah infeksius. Gejala yang biasanya diderita adalah:

· Meriang/tidak enak badan

· nausea, vomiting, dan diare

· Kehilangan nafsu makna sehingga berat badan turun

· Ikterik

· kulit gatal

· Sakit di bagian abdominal.

Masa infeksi biasanya berakhir dalam dua bulan, tetapi kadang-kadang menjadi lebih lama pada sebagian orang. Sekali terinfeksi dan tubuh dapat mengalahkan virus maka tubuh akan memiliki kekebalan (Magee, 2008).

Setelah mengetahui studi pustaka tentang Hepatitis A, selanjutnya dalah patofisiologinya.

Virus HAV masuk ke dalam tubuh secara feko oral, ketika sampai di usus terjadi absorbsi dan masuk ke kapiler darah. Melalui vena porta virus tersebut masuk ke dalam hepar dan melakukan penetrasi ke sel-selnya.

Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, suatu infeksi dapat mengakibatkan reaksi peradangan yang dapat menaikkan suhu tubuh seperti gejala febris yang seringkali dikeluhkan pada kasus hepatitis A. Sklera ikterik timbul akibat terjadinya hiperbilirubinemia yang terjadi akibat adanya kerusakan pada hati, sehingga hati tidak dapat mengekskresikan bilirubin secara normal. Nausea dan vomitus disebabkan karena adanya rangsangan pada hepar. Seperti telah diketahui bahwa bila dinding sel hepar terangsang oleh adanya toksik, maka nervus vagus akan terangsang dan menghasilkan neurotransmitter seperti serotonin. Serotonin inilah yang dapat merangsang pusat vomit, lalu pusat vomit akan merangsang otot-otot lambung sehingga terjadilah vomitus. Hepatomegali terjadi akibat infeksi yang ditimbulkan oleh HAV sehingga sistem imun pada hepar pun bekerja, untuk menyeimbangkannya sel hepar terus berproliferasi sehingga akhirnya terjadi hepatomegali.

Pada kasus hepatitis A, sebaiknya pasien beristirahat total selama 1-4 minggu, menghindari kontak badan dengan non penderita, dan diberi makan cukup protein tetapi rendah lemak. Bila dirawat di rumah, semua pakaian bekas pakai, alat makan dan minum harus dicuci secara terpisah. WC setelah digunakan oleh pasien harus dibersihkan dengan antiseptik. Semua hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan.

Sekian, semoga membantu ^_^


I am back

dah lama banget ya ga posting.. viuh.. mulai lagi ah..

Sunday, June 15, 2008

1 bulan sebelum pulang..

seneng bgt deh. satu bulan lg gw pulang ke rumah. hihi. asiiik. liat keponakan baru. kponakan barunya lahir hari ini.
namanya Kayla Theodora Rarasati. panggilnya dora the explorer aah. hehe. semakin cepet pulang, semakin cepet ujian dateng OSCE, responsi, ujian blok infeksi, ujian field lab, ujian skillslab. gila ih mau pulang susah bgt. mulai minggu depan mau posting tutorial lg,, ttg hepatitis A. ditunggu ya..

Wednesday, June 11, 2008

anatomy

fiuhh.. akhirnya responsi anatomi berakhir juga. tapi.. saya ga bisaaaa... huhu. menyedihkan. kenapa tau2 ada penis disitu? mengerikan!!!! padahal ga ada materi ttg genitalia maskulina. alasan!! itu kan cuma 1 soal. emang dasar saya oon. hehe. malem sebelum responsi malah ngegosip sama anak2 kosan (kecuali; anggie) hehe. tapi walaupun belajar kynya ga bkl jauh beda. jadi kuncinya adalah sering2 TENTIRAN!!

Saturday, December 22, 2007

finally,, coming home

ahahhaaaay,,, akhirnya gw pulang juga.. bahagianya.. ternyata rumah emang tempat yang plg nyaman.. seneng bgt bisa pulang lagi.. ktemu kluarga+temen2.. oya, km punya pngalaman pulang yang mnyenangkan?? happy holiday

Hemofilia

Biologi molekuler adalah bidang ilmu yang mempelajari organisme pada tingkat molekul. Paradigma yang dianut dalam biologi molekuler adalah bahwa setiap organisme terdiri dari sel, dan sel terdiri dari sejumlah besar molekul, sehingga baik struktur maupun fungsi yang ditunjukkan oleh suatu organisme, termasuk fungsi-fungsi yang menunjukkan bahwa organisme ditentukan oleh molekul-molekul tersebut. Oleh karena itu, dewasa ini, para dokter dituntut untuk dapat mendalami suatu penyakit sampai pada tingkat molekuler. Dengan menganut biologi molekuler, kita dapat mengetahui penyakit yang pada dasarnya terjadi karena adanya perubahan dalam molekul-molekul yang terdapat dalam tubuh kita. Salah satu penyakit yang dapat ditinjau secara biomolekuler adalah hemofilia.
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan fakor pembekuan darah yang diturunkan ( herediter) sex linked resesif pada kromosom X dan pada sebagian kecil diturunkan secara autosomal resesif dan mutasi spontan.

Klasifikasi hemophilia
Hemophilia dibedakan atas tiga macam:
a. Hemofilia A, yang ditandai karena penderita tidak memiliki zat antihemofili globulin (faktor VIII). Kira-kira 80% dari kasus hemophilia adalah dari tipe ini. Seorang mampu membentuk antihemofili globulin (AHG) dalam serum darahnya karena ia memiliki gen dominan H sedang alelnya resesif tidak dapat membentuk zat tersebut. Oleh karena gennya terangkai X, maka perempuan normal dapat mempunyai genotip HH atau Hh. Laki-laki normal akan mempunyai genotip H_. Perempuan hemophilia mempunyai genotip hh, sedangkan laki-laki hemophilia h_. (Suryo, 2005)
b. Hemofilia B atau penyakit “Christmas”
Penderita tidak memiliki komponen plasma tromboplastin (KPT; faktor IX). Kira-kira 20% dari hemophilia adalah tipe ini. (Suryo, 2005)
c. Hemofilia C
Penyakit hemophilia C tidak disebabkan oleh gen resesif kromosom-x, melainkan oleh gen resesif yang jarang dijumpai dan terdapatnya pada autosom. Tidak ada 1% dari kasus hemophilia adalah tipe ini. Penderita tidak mampu membentuk zat plasma tromboplastin anteseden (PTA). (Suryo, 2005)

Penyakit hemophilia merupakan penyakit yang bersifat herediter. Pada penyakit ini terjadi gangguan pada gen yang mengekspresikan faktor pembekuan darah, sehingga jika terjadi luka, luka tersebut sukar menutup. Pada orang normal, proses pembekuan darah dapat melalui empat cara, yaitu: (1) spasme pembuluh darah, (2) pembentukkan sumbat dari trombosit (platelet), (3) pembekuan darah, dan (4) terjadi pertumbuhan jaringan ikat ke dalam bekuan darah untuk menutup lubang pada pembuluh secara permanen.
Pada orang normal, jika terjadi luka pembuluh darah akan mengkerut. Lalu trombosit bersinggungan dengan permukaan pembuluh yang rusak sehingga trombosit berubah sifat (membengkak, bentuk irregular). Lalu trombosit jadi lengket, melekat pada serabut kolagen, sekresi ADP menyebabkan enzim-enzim membentuk tromboksan A lalu ADP dan tromboksan A mengaktifkan trombosit berdekatan yang menyebabkan trombosit jadi lengket dan pada akhirnya terbentuk sumbat trombosit.
Menurut faktor penyebabnya, hemophilia di bagi menjadi tiga jenis, yaitu: hemophilia A, hemophilia B, dan hemophilia C. hemophilia A atau biasa disebut dengan hemophilia klasik disebabkan oleh ketiadaan atau defisiensi faktor VIII pembeku darah yang disebabkan adanya inversi pada kromosom Xq28. Hemophilia B atau hemophilia christmas disebabkan oleh ketiadaan atau defisiensi faktor pembeku darah yaitu faktor IX yang terdapat pada kromosom X27.1-27.2. Sedangkan hemophilia C disebabkan oleh karena ketiadaan atau defisiensi faktor XI, hemophilia jenis ini diturunkan terpaut autosomal resesif pada kromosom 4q32q35.
Berdasarkan kadar faktor pembeku darah di dalam tubuh, hemophilia dibagi tiga, yaitu: hemophilia berat dengan kadar faktor pembeku 1% dari jumlah normal, hemophilia sedang dengan kadar faktor pembeku 1-5% dari jumlah normal, dan hemophilia ringan dengan kadar faktor pembeku 5-30% dari jumlah normal. Yang dimaksud faktor pembeku darah di atas adalah faktor yang berhubungan dengan masing-masing tipe hemophilia. Pada penderita hemophilia, akan didapatkan uji diagnostic sebagai berikut: gambaran darah tepi normal, masa pembekuan memanjang, Rumpel-Leede negative, PT dan TGT memanjang, dan SPT kurang dari 50 detik.
Pada pemeriksaan pasien yang diduga hemophilia, dalam anamnesis sebaiknya ditanyakan daftar riwayat kesehatan keluarga berkenaan dengan penyakit hemophilia, riwayat saat kehamilan, serta riwayat kematian neonatal dini. Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan untuk mengetahui apakah seseorang menderita hemophilia adalah masa pembekuan yang memanjang(CT), masa protrombin yang normal dan masa tromboplastin yang memanjang (aPTT), masa pembekuan troboplastin abnormal, pendarahan yang sukar berhenti (hemarthrosis), dan pemeriksaan subkutan/intramiucular untuk mengetahui adanya hematom.
Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan kadar faktor pembekuan VIII , IX danXI, diagnosis molekular dengan memeriksa petanda gen hemofilia pada kromosom yang dapat juga digunakan untuk pemeriksaan prenatal, pemeriksaan intracranial karena perdarahan intracranial ini penyebab utama kematian, analisis gen dengan menggunakan DNA probe, yaitu dengan mencari locus polimorfik pada kromosom X.
Penatalaksanaan bagi penderita hemophilia meliputi berbagai macam hal. Hal yang harus dihindari misalnya : aspirin, obat antiradang non steroid, obat pengencer darah, asetaminophen. Pemberian transfusi rutin berupa Kriopresipitat-AHF utk hemofili A dan plasma beku segar. Selain itu yang harus diperhatikan adalah menjaga bobot tubuh tetap sehat, mencegah olagraga seperti sepak bola, bela diri, tinju, gulat, balap motor dan basket, mengganti/ menambah faktor hemofili yang kurang, jika terjadi perdarahan, tindakan pertama RICE (rest, ice, compression, elevation), memberikan antifibrolitk, terapi gen, membeikan hormon DDAVP yg merangsang kadar peningkatan faktor VIII dlm plasma 4 %, merencanakan suatu tindakan operasi, mempertahankan kadar faktor pembkuan 30-50 %, kortikosteroid untuk menghilangkan peradangan, analgetika pada hemartrosis dengan nyeri hebat, dan rehabilitasi medik.

Mikrosefali

Perkembangan janin secara normal

8 minggu pertama
Setelah terjadi pembuahan antara ovum dan sperma maka terbentuklah zigot. Lalu sel zigot tersebut membelah menjadi 32 sel (biasanya dikenal dengan blastosit) dan terjadi penanaman (implantasi) sel-sel tersebut pada dinding uterus. Lalu akan terbentuk plasenta yang bersifat elementer yang akan memberikan nutrisi bagi embrio. Delapan minggu setelah implantasi dinamakan periode embrionik. Pada masa ini, organ, system, dan jaringan akan dibentuk, berdiferensiasi, dan diletakan pada tempatnya.
Jika terjadi kesalahan selama 8 minnggu pertama, dapat terjadi kelainan struktur atau system. Sekitar hari ke-14, embrio memiliki panjang sekitar 2 mm. pada hari ke 17-20 masa gestasi, terbentuklah neural plate yang akan berkembang menjadi system syaraf dari individu.
(Monfort dan Boon, 2004)

Penyebab mikrosefali
  • penyebab utama
  • sindroma down
  • sindroma cri du chat
  • sindroma seckel
  • sindroma rubinstein-taybi
  • trisomi 13
  • trisomi 18
  • sindroma smith-lemli-opitz
  • sindroma cornelia de lange penyebab sekunder
  • fenilketonuria pada ibu yang tidak terkontrol
  • keracunan metil merkuri
  • rubella kongenital
  • toksoplasmosis kongenital
  • sitomegalovirus kongenital
  • penyalahgunaan obat oleh ibu hamil
  • kekurangan gizi (malnutrisi)

Klasifikasi mikrosefali

Mikrosefali diklasifikasikan kedalam tiga kelompok, sesuai penyebabnya:

Mikrosefali primer jinak berkaitan dengan faktor genetik. Mikrosefali genetik ini termasuk mikrosefali familial dan mikrosefali akibat aberasi khromosom. Mikrosefali akibat penutupan sutura prematur (kraniosinostosis). Jenis mikrosefali ini berakibat bentuk kepala abnormal, namun pada kebanyakan kasus tak ada anomali serebral yang jelas.
Mikrosefali sekunder terhadap atrofi serebral. Mikrosefali sekunder dapat disebabkan oleh infeksi intrauterin seperti penyakit inklusi sitomegalik, rubella, sifilis, toksoplasmosis, dan herpes simpleks; radiasi, hipotensi sistemik maternal, insufisiensi plasental; anoksia; penyakit sistemik maternal seperti diabetes mellitus, penyakit renal kronis, fenilketonuria; dan kelainan perinatal serta pascanatal seperti asfiksia, infeksi, trauma, kelainan jantung kronik, serta kelainan paru-paru dan ginjal. Jenis mikrosefali ini berhubungan dengan retardasi mental dalam berbagai tingkat (Saanin, 2007).

Patogenesis & Patofisiologi
(1) Perkembangan susunan saraf dimulai dengan terbentuknya neural tube yaitu induksi daerah dorsal yang terjadi pada minggu ke 3 masa gestasi. Setiap gangguan pada masa ini mengakibatkan kelainan congenital seperti kranioskisis,totalis,dsb. Fase selanjutnya terjadi proliferasi neuron yang terjadi pada masa gestasi. Gangguan pada masa ini dapat menyebabkan mikrosefali.
  1. Sifilis : Melalui kontak langsung dengan lesi. Disebabkan bakteri Treponema malibu melalui selaput lendir yang utuh/kulit dengan lesi kemudian masuk ke peredaran darah dan semua organ dalam tubuh (salah satunya otak) ke janin.
  2. Rubella: Rubella menginfeksi embrio pd 3 bulan pertama kehamilan. Menyebabkan malformasi mata,telinga bagian dalam,jantung dan gigi.
  3. Herpes: Bayi lahir lewat vagina (ibu terkena herpes) sehingga bayi jadi terinfeksi.
  4. Sitomegalovirus: Sitomegalovirus merupakan organisme yang ada di mana-­mana serta pada hakekatnya menginfeksi sebagian besar manusia, bukti adanya infeksi janin ditemukan di antara 0,5 –2 % dari semua neonatus. Sesudah terjadinya infeksi primer yang biasanya asimtomatik, 10 % infeksi pada janin menimbulkan simtomatik saat kelahiran dan 5-25 % meninggalkan sekuele. Pada beberapa negara infeksi CMV 1 % didapatkan infeksi in utro dan 10-15 % pada masa prenatal(5) Virus tersebut menjadi laten dan terdapat reaktivasi periodik dengan pelepasan virus meskipun ada antibodi di dalam serum. Antibodi humoral diproduksi, namun imunitas yang diperanta­rai oleh sel tampaknya merupakan mekanisme primer untuk terjadinya kesembuhan, dan keadaan kekebalan yang terganggu baik terjadi secara alami maupun akibat pemakaian obat-obatan akan meningkatkan kecenderungan timbulnya infeksi sitomegalovirus yang serius. Diperkirakan bahwa berkurangnya surveilans imun yang diperantarai oleh sel, menyebabkan janin-bayi tersebut berada dalam risiko yang tinggi untuk terjadinya sekuele pada infeksi ini.
  5. Down Syndrome
  6. Trisomi 13
  7. Trisomi 18
  8. Rubeinstein-Taybi Syndrome: Ketiadaan gen yang menyebabkan ketidaknormalan pada protein pengikat CREB.
Rasio kejadian mikrosefali

Mikrosefali merupaka penyakit yang terhitung jarang ditemukan yaitu sekitar 1 : 250000 kelahiran.

Uji Diagnostik
  • Ultra sand prenatal
  • Test fisik (CT scan)
  • Test darah dan urin
Gejala
  • Lahir dgn pengurangan ukuran kepala
  • Berat di bawah rata-rata
  • Sutura cranialis menutup sebelum waktunya
  • Gangguan berbicara
  • Fontanela kecil
  • Retardasi mental
  • Kejang
  • Muka luas,dahi menyusut
  • Kerdil
  • Hiperaktif
Pencegahan

  • Test DNA sebelum menikah
  • Menjaga nutrisi saat kehamilan
  • Menjaga diri dari penyakit menular seksual dengan cara setia pada pasangan, menggunakan alat kontrasepsi pada saat berhubungan seksual.

Blok2-- Testicular Feminization Syndrome

I. PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Testis
salah satu dari dari sepasang kelenjar berbentuk telur yang normalnya terletak dalam skortum. (Dorland)
Testosteron
hormone steroid androgenic utama yang diproduksi oleh sel-sel interstesial (sel leydig) sebagai respon terhadap stimulasi dari LH.

Sumber: Wikipedia, 2007

Testicular feminization syndrome
salah satu pseudohermafroditisme terkait X resesif, secara genetis berkelamin laki-laki (46 XY) karena tidak ada respon terhadap androgen karena mutasi pada gen reseptor androgen (kromosom Xq11-q12)
Pemeriksaan karyotip
pemeriksaan pengaturan kromosom secara standar berdasarkan panjang, jumlah, dan bentuk kromosom dari sel somatic suatu individu.

B. LATAR BELAKANG MASALAH
Biologi molekuler adalah bidang ilmu yang mempelajari organisme pada tingkat molekul. Paradigma yang dianut dalam biologi molekuler adalah bahwa setiap organisme terdiri dari sel, dan sel terdiri dari sejumlah besar molekul, sehingga baik struktur maupun fungsi yang ditunjukkan oleh suatu organisme, termasuk fungsi-fungsi yang menunjukkan bahwa organisme ditentukan oleh molekul-molekul tersebut. Oleh karena itu, dewasa ini, para dokter dituntut untuk dapat mendalami suatu penyakit sampai pada tingkat molekuler. Dengan menganut biologi molekuler, kita dapat mengetahui penyakit yang pada dasarnya terjadi karena adanya perubahan dalam molekul-molekul yang terdapat dalam tubuh kita. Begitu pula dalam kasus “Anak saya ini laki atau perempuan?”, seorang dokter dituntut untuk dapat memahami penyakit pasien sampai tingkat molekuler karena penyakit testicular feminization syndrome adalah penyakit yang berkaitan erat dengan hereditas. Sedangkan segala sesuatu yang diturunkan secara hereditas berkaitan erat dengan tinjauan fungsi tubuh manusia secara molekuler. Dari dasar molekuler yang didapatkan, banyak pertanyaan seputar testicular feminization syndrome yang dapat terjawab, seperti patologi, patofisiologi, serta berbagai macam terapi yang cocok dengan penyakit yang sedang dibahas.
C. RUMUSAN MASALAH
Apakah anak tersebut benar-benar mengalami penyakit testicular feminization syndrome?
Bagaimana perkembangan kelamin manusia?
Bagaimana pathogenesis dan pathofisiologi TFS?
Apa saja gejala klinis TFS?
Mengapa harus dilaksanakan pemeriksaan kadar testosterone?
Bagaimana penatalaksanaan TFS?
Apa saja tes yang dilakukan dalam TFS?
D. TUJUAN DAN MANFAAT PEMBELAJARAN
Mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan untuk memahami asal, patofisiologi, dan pathogenesis masalah kesehatan;
Menjelaskan arti ungkapan-ungkapan dan kepentingan masalah kesehetan dalam istilah-istilah biomolekuler, seluler, dan fisiologi;
Membangun suatu strategi untuk memutuskan secara efektif, asal, pokok-pokok pathogenesis, ancaman-ancaman spesifik suatu penyakit beserta konsekuensinya, dan menjelaskan alasan yang mendasarinya;
Menetapkan dengan tepat tujuan terapi dalam tingkatan molekuler dan fisiologi.
Menggabungkan alasan etik dalam pelayanan pasien untuk mencapai standar professional;
Mengidentifikasi alternative dalam pilihan etik yang sulit.

E. SKENARIO
Seorang Ibu membawa anak “perempuannya” berumur enam bulan ke Puskesmas untuk menanyakan kejelasan alat kelamin anaknya, perempuan atau laki-laki, karena bentuk kelaminnya yang tidak jelas antara perempuan dan laki-laki. Pernah ke seorang dokter, semula dikatakan bahwa ini karena testisnya belum turun. Kemudian dibawa kw dokter lain, diminta melakukan pemeriksaan kadar testosterone dan hasilnya normal bagi laki-laki. Hasil pemeriksaan kariotip menunjukkan 46 XY. Dokter kedua menyatakan penyakitnya adalah testicular feminization syndrome.

F. HIPOTESIS
Pada kasus diatas, dokter kedua berpendapat bahwa anak tersebut menderita testicular feminization syndrome. Dengan didapatinya keluhan mengenai alat kelamin yang tidak jelas, hipotesisnya adalah sesuai dengan pendapat dokter kedua, yaitu anak tersebut menderita testicular feminization syndrome. Penegakan hipotesis pun didukung dengan adanya pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan kadar testosterone yang hasilnya normal dan pemeriksaan kariotip yang menunjukkan hasil 46 XY.
II. STUDI PUSTAKA
Tipe Androgen
Dehidroepiandosteron (DHEA) dan metabolitnya
Merupakan androgen yang lemah dan dihasilkan di kelenjar adrenal.
Delta 4-androsteredion
Lebih kuat dari DHEA dan dihasilkan di korteks adrenal dan ovarium.
Testosteron
Merupakan androgen yang paling kuat. Dihasilkan di ovarium, testis, dan jaringan perifer. Sebagian akan diubah menjadi dihirotestosteron (DHT) dan sebagian akan tetap menjadi testosterone.
Price, 2005
The androgen receptor (AR) is a type of nuclear receptor which is activated by binding of either of nuclear receptor which is activated by binding of either of the androgenic hormones testosterone or dihydrotestosterone. The main function of the androgen receptor is as a DNA binding transcription factor which regulates gene expression. However the androgen receptor also has additional functions independent of DNA binding .Androgen Reseptor

Wikipedia, 2007

Perkembangan kelamin manusia


Yousef, 2005
Gejala klinis
Tidak adanya rambut didaerah pubis dan axilla
Rambut kepala subur
Fenotipnya feminine
OMIM, 2007
Psikologis wanita
Testosterone : DHT normal pada pria
Tinggi seperti laki-laki normal
Behrman, 1992
Female infertility
Lack of periods
Delayed menarche
Primary amenorrhea
Genetic male XY chromosomes
Misplaced testes hidden in abdomen
Lack of uterus, fallopian tubes, and ovaries
Short internal vagina
Low estrogen levels
Primary amenorrhea
Development of female breasts in males and female sexual characteristics
Undescended testes - sometimes present in the labia
Female genitalia
Coexisting female and male genitalia
Schematic of AIS affecting an Androgen Receptor

The Androgen Insensitivity Syndrome has been linked to mutations in AR, the gene for the human Androgen Receptor, located at Xq11-12.
Thus, it is an X-linked recessive trait, causing minimal or no effects in 46,XX people.







However, 46,XX women with a single mutated copy of the AR gene can be "carriers" of AIS, and their 46,XY children (male) will have a 50% chance of having the syndrome. As in some other X-linked recessive conditions, carrier mothers may display some minor traits of the condition: AIS carriers often have reduced axillary and pubic hair, and reduced normal adolescent acne.Penurunan secara herediter










III. PEMBAHASAN
TFS
46XY/SRY (Sex Determining Region on Y)
Antigen H-Y
Testis→MIF
Testosterone → male internal genitalia
Penurunan 5-α-reductase Normal DHT
Gangguan fungsi androgen reseptor
Female external genitalia
Jenis kelamin seorang manusia ditentukan dalam beberapa tingkatan, yaitu : jenis kelamin genetic, gonad, dan fenotip. Pada keadaan normal, jenis kelamin genetic (XX dan XY) akan mempengaruhi pembentukan gonad yang selanjutnya akan mempengaruhi fenotip seseorang. Pada bulan pertama dan setengah masa gestasi, jaringan reproduktif kedua jenis kelamin sedang berkembang identik dan tidak dibeda-bedakan ( indiferen). Selanjutnya spesifitas gonad muncul selama minggu ketujuh masa kehidupan intrauterus sewaktu jaringan gonad indiferen pada pria berdiferensiasi menjadi testis dibawah pengaruh region penentu jenis kelamin di kromosom Y (SRY:sebuah gen penentu sel kelamin). Pada penderita TFS/AIS, terjadi mutasi titik pada gen reseptor androgen. Letak reseptor androgen ini di lengan panjang kromosom X (Xq 11-12). Walaupun jumlah androgen dalam tubuh normal namun androgen tidak dapat berekspresi karena terjadi gangguan fungsional pada reseptornya. Kerja hormone pada tingkat sel dimulai dengan pengikatan hormone dan reseptor spesifiknya. Akibat tidak dapat berekspresinya hormone androgen, maka tidak timbul sifat maskulin pada penderita.









Pada TFS/AIS ditemukan gejala-gejala seperti : fenotipnya seperti wanita, vagina pendek, buntu, tidak ada uterus/tuba fallopi, tidak menstruasi dan infertile, penis menyerupai klitoris yang membesar, rambut pubis dan ketiak jarang atau bahkan tidak ada, pada pubertas payudara berkembang, bibir vagina dan klitoris lebar dan pendek, tubuh tinggi, bersuara wanita, pinggul, rambut tubuh seperti wanita. Pada incomplete TFS/AIS, sudah dapat diketahui saat masih anak-anak, sedangkan pada complete TFS/AIS, belum dapat diketahui saat masih anak-anak. Pada kasus ini pemeriksaan kadar testosterone dalam tubuh sangatlah penting karena ditujukan untuk memastikan dan mengetahui kenormalan kadar testosterone. Pada kasus TFS/AIS, kadar testosterone dalam tubuh adalah normal bagi pria.padahal secara fenotipe penderita TFS/AIS tampak seperti wanita pada umumnya. Karena itu, untuk memastikannya dapat dilakukan beberapa uji diagnostic, seperti: testosterone levels (positif TFS jika kadarnya sama dengan laki-laki normal), XY karyotyping X, Leutenizing Hormon (LH) levels (positif TFS jika kadaarnya tinggi), FSH levels (positif TFS jika kadaarnya normal), Sonogram (tidak ditemukannya adanya uterus), dan androgen receptor studies (analisis mutasi pada gen reseptor androgen).
Pada penderita TFS/AIS, dapat dilakukan terapi penggantian hormone (hormone replacement therapy;HRT). HRT merupakan salah satu terapi yang termudah dilakukan. Bagi penderita Complete AIS dilakukan estrogen replacement, bukan progesterone replacement dikarenakan penderita tidak memiliki uterus. Sedangkan bagi Partial AIS dilakukan testosterone atau DHT replacement. Selain itu seharusnya dilakukan konseling terhadap pasien. Setelah dilakukan uji diagnostic terhadap pasien TFS, HRT, dan konseling, baru dapat diputuskan langkah medis berikutnya seperti surgical therapy.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dengan gejala klinis sebagai berikut:
Alat kelamin tidak jelas
Dan dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut:
Kariotip 46 XY
Kadar testosterone normal bagi pria
dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut menderita penyakit testicular feminization syndrome yang merupakan penyakit bawaan genetika diturunkan oleh gene resesif tepaut kromosom X. Untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan tes sebagai berikut: testosterone levels , XY karyotyping . Leutenizing Hormon (LH) levels, FSH levels, Sonogram, dan Androgen receptor studies . Untuk tindakan lebih lanjut sebaiknya dilakukan HRT dan konseling. Jika telah diputuskan jenis kelaminnya dan memenuhi syarat untuk dilakukannya operasi maka operasi harus cepat dilakukan untuk menghindari kemungkinan kanker di masa puber dan supaya perkembangan psikoseksualnya dapat berjalan senormal mungkin.
V. DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E. dkk, alih bahasa Drs. Med Moelia Radja Siregar, dkk. 1992. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi IV Jilid 2. Jakarta : EGC
e Medicine. 2007. Androgen insensitivity syndrome
http://www.emedicine.com/ped/topic2222.htm
Ganong, W.F. 1995. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
OMIM. 2007. Androgen insensitivity syndrome
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/dispomim.cgi?id=300068
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC
Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper. Jakarta : EGC
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi manusia : dari sel ke system. Edisi 2. Jakarta : EGC
Suryo. 2005.Genetika Manusia. Cetakan kedelapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wikipedia . 2007. Androgen insensitivity syndrome
http://en.wikipedia.org/wiki/Androgen_insensitivity_syndrome
Wikipedia. 2007. Androgen Reseptor. http://en.wikipedia.org/wiki/Androgen_receptor