Saturday, December 22, 2007

Blok2-- Testicular Feminization Syndrome

I. PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Testis
salah satu dari dari sepasang kelenjar berbentuk telur yang normalnya terletak dalam skortum. (Dorland)
Testosteron
hormone steroid androgenic utama yang diproduksi oleh sel-sel interstesial (sel leydig) sebagai respon terhadap stimulasi dari LH.

Sumber: Wikipedia, 2007

Testicular feminization syndrome
salah satu pseudohermafroditisme terkait X resesif, secara genetis berkelamin laki-laki (46 XY) karena tidak ada respon terhadap androgen karena mutasi pada gen reseptor androgen (kromosom Xq11-q12)
Pemeriksaan karyotip
pemeriksaan pengaturan kromosom secara standar berdasarkan panjang, jumlah, dan bentuk kromosom dari sel somatic suatu individu.

B. LATAR BELAKANG MASALAH
Biologi molekuler adalah bidang ilmu yang mempelajari organisme pada tingkat molekul. Paradigma yang dianut dalam biologi molekuler adalah bahwa setiap organisme terdiri dari sel, dan sel terdiri dari sejumlah besar molekul, sehingga baik struktur maupun fungsi yang ditunjukkan oleh suatu organisme, termasuk fungsi-fungsi yang menunjukkan bahwa organisme ditentukan oleh molekul-molekul tersebut. Oleh karena itu, dewasa ini, para dokter dituntut untuk dapat mendalami suatu penyakit sampai pada tingkat molekuler. Dengan menganut biologi molekuler, kita dapat mengetahui penyakit yang pada dasarnya terjadi karena adanya perubahan dalam molekul-molekul yang terdapat dalam tubuh kita. Begitu pula dalam kasus “Anak saya ini laki atau perempuan?”, seorang dokter dituntut untuk dapat memahami penyakit pasien sampai tingkat molekuler karena penyakit testicular feminization syndrome adalah penyakit yang berkaitan erat dengan hereditas. Sedangkan segala sesuatu yang diturunkan secara hereditas berkaitan erat dengan tinjauan fungsi tubuh manusia secara molekuler. Dari dasar molekuler yang didapatkan, banyak pertanyaan seputar testicular feminization syndrome yang dapat terjawab, seperti patologi, patofisiologi, serta berbagai macam terapi yang cocok dengan penyakit yang sedang dibahas.
C. RUMUSAN MASALAH
Apakah anak tersebut benar-benar mengalami penyakit testicular feminization syndrome?
Bagaimana perkembangan kelamin manusia?
Bagaimana pathogenesis dan pathofisiologi TFS?
Apa saja gejala klinis TFS?
Mengapa harus dilaksanakan pemeriksaan kadar testosterone?
Bagaimana penatalaksanaan TFS?
Apa saja tes yang dilakukan dalam TFS?
D. TUJUAN DAN MANFAAT PEMBELAJARAN
Mengidentifikasi dan menerapkan prinsip-prinsip ilmu dasar yang relevan untuk memahami asal, patofisiologi, dan pathogenesis masalah kesehatan;
Menjelaskan arti ungkapan-ungkapan dan kepentingan masalah kesehetan dalam istilah-istilah biomolekuler, seluler, dan fisiologi;
Membangun suatu strategi untuk memutuskan secara efektif, asal, pokok-pokok pathogenesis, ancaman-ancaman spesifik suatu penyakit beserta konsekuensinya, dan menjelaskan alasan yang mendasarinya;
Menetapkan dengan tepat tujuan terapi dalam tingkatan molekuler dan fisiologi.
Menggabungkan alasan etik dalam pelayanan pasien untuk mencapai standar professional;
Mengidentifikasi alternative dalam pilihan etik yang sulit.

E. SKENARIO
Seorang Ibu membawa anak “perempuannya” berumur enam bulan ke Puskesmas untuk menanyakan kejelasan alat kelamin anaknya, perempuan atau laki-laki, karena bentuk kelaminnya yang tidak jelas antara perempuan dan laki-laki. Pernah ke seorang dokter, semula dikatakan bahwa ini karena testisnya belum turun. Kemudian dibawa kw dokter lain, diminta melakukan pemeriksaan kadar testosterone dan hasilnya normal bagi laki-laki. Hasil pemeriksaan kariotip menunjukkan 46 XY. Dokter kedua menyatakan penyakitnya adalah testicular feminization syndrome.

F. HIPOTESIS
Pada kasus diatas, dokter kedua berpendapat bahwa anak tersebut menderita testicular feminization syndrome. Dengan didapatinya keluhan mengenai alat kelamin yang tidak jelas, hipotesisnya adalah sesuai dengan pendapat dokter kedua, yaitu anak tersebut menderita testicular feminization syndrome. Penegakan hipotesis pun didukung dengan adanya pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan kadar testosterone yang hasilnya normal dan pemeriksaan kariotip yang menunjukkan hasil 46 XY.
II. STUDI PUSTAKA
Tipe Androgen
Dehidroepiandosteron (DHEA) dan metabolitnya
Merupakan androgen yang lemah dan dihasilkan di kelenjar adrenal.
Delta 4-androsteredion
Lebih kuat dari DHEA dan dihasilkan di korteks adrenal dan ovarium.
Testosteron
Merupakan androgen yang paling kuat. Dihasilkan di ovarium, testis, dan jaringan perifer. Sebagian akan diubah menjadi dihirotestosteron (DHT) dan sebagian akan tetap menjadi testosterone.
Price, 2005
The androgen receptor (AR) is a type of nuclear receptor which is activated by binding of either of nuclear receptor which is activated by binding of either of the androgenic hormones testosterone or dihydrotestosterone. The main function of the androgen receptor is as a DNA binding transcription factor which regulates gene expression. However the androgen receptor also has additional functions independent of DNA binding .Androgen Reseptor

Wikipedia, 2007

Perkembangan kelamin manusia


Yousef, 2005
Gejala klinis
Tidak adanya rambut didaerah pubis dan axilla
Rambut kepala subur
Fenotipnya feminine
OMIM, 2007
Psikologis wanita
Testosterone : DHT normal pada pria
Tinggi seperti laki-laki normal
Behrman, 1992
Female infertility
Lack of periods
Delayed menarche
Primary amenorrhea
Genetic male XY chromosomes
Misplaced testes hidden in abdomen
Lack of uterus, fallopian tubes, and ovaries
Short internal vagina
Low estrogen levels
Primary amenorrhea
Development of female breasts in males and female sexual characteristics
Undescended testes - sometimes present in the labia
Female genitalia
Coexisting female and male genitalia
Schematic of AIS affecting an Androgen Receptor

The Androgen Insensitivity Syndrome has been linked to mutations in AR, the gene for the human Androgen Receptor, located at Xq11-12.
Thus, it is an X-linked recessive trait, causing minimal or no effects in 46,XX people.







However, 46,XX women with a single mutated copy of the AR gene can be "carriers" of AIS, and their 46,XY children (male) will have a 50% chance of having the syndrome. As in some other X-linked recessive conditions, carrier mothers may display some minor traits of the condition: AIS carriers often have reduced axillary and pubic hair, and reduced normal adolescent acne.Penurunan secara herediter










III. PEMBAHASAN
TFS
46XY/SRY (Sex Determining Region on Y)
Antigen H-Y
Testis→MIF
Testosterone → male internal genitalia
Penurunan 5-α-reductase Normal DHT
Gangguan fungsi androgen reseptor
Female external genitalia
Jenis kelamin seorang manusia ditentukan dalam beberapa tingkatan, yaitu : jenis kelamin genetic, gonad, dan fenotip. Pada keadaan normal, jenis kelamin genetic (XX dan XY) akan mempengaruhi pembentukan gonad yang selanjutnya akan mempengaruhi fenotip seseorang. Pada bulan pertama dan setengah masa gestasi, jaringan reproduktif kedua jenis kelamin sedang berkembang identik dan tidak dibeda-bedakan ( indiferen). Selanjutnya spesifitas gonad muncul selama minggu ketujuh masa kehidupan intrauterus sewaktu jaringan gonad indiferen pada pria berdiferensiasi menjadi testis dibawah pengaruh region penentu jenis kelamin di kromosom Y (SRY:sebuah gen penentu sel kelamin). Pada penderita TFS/AIS, terjadi mutasi titik pada gen reseptor androgen. Letak reseptor androgen ini di lengan panjang kromosom X (Xq 11-12). Walaupun jumlah androgen dalam tubuh normal namun androgen tidak dapat berekspresi karena terjadi gangguan fungsional pada reseptornya. Kerja hormone pada tingkat sel dimulai dengan pengikatan hormone dan reseptor spesifiknya. Akibat tidak dapat berekspresinya hormone androgen, maka tidak timbul sifat maskulin pada penderita.









Pada TFS/AIS ditemukan gejala-gejala seperti : fenotipnya seperti wanita, vagina pendek, buntu, tidak ada uterus/tuba fallopi, tidak menstruasi dan infertile, penis menyerupai klitoris yang membesar, rambut pubis dan ketiak jarang atau bahkan tidak ada, pada pubertas payudara berkembang, bibir vagina dan klitoris lebar dan pendek, tubuh tinggi, bersuara wanita, pinggul, rambut tubuh seperti wanita. Pada incomplete TFS/AIS, sudah dapat diketahui saat masih anak-anak, sedangkan pada complete TFS/AIS, belum dapat diketahui saat masih anak-anak. Pada kasus ini pemeriksaan kadar testosterone dalam tubuh sangatlah penting karena ditujukan untuk memastikan dan mengetahui kenormalan kadar testosterone. Pada kasus TFS/AIS, kadar testosterone dalam tubuh adalah normal bagi pria.padahal secara fenotipe penderita TFS/AIS tampak seperti wanita pada umumnya. Karena itu, untuk memastikannya dapat dilakukan beberapa uji diagnostic, seperti: testosterone levels (positif TFS jika kadarnya sama dengan laki-laki normal), XY karyotyping X, Leutenizing Hormon (LH) levels (positif TFS jika kadaarnya tinggi), FSH levels (positif TFS jika kadaarnya normal), Sonogram (tidak ditemukannya adanya uterus), dan androgen receptor studies (analisis mutasi pada gen reseptor androgen).
Pada penderita TFS/AIS, dapat dilakukan terapi penggantian hormone (hormone replacement therapy;HRT). HRT merupakan salah satu terapi yang termudah dilakukan. Bagi penderita Complete AIS dilakukan estrogen replacement, bukan progesterone replacement dikarenakan penderita tidak memiliki uterus. Sedangkan bagi Partial AIS dilakukan testosterone atau DHT replacement. Selain itu seharusnya dilakukan konseling terhadap pasien. Setelah dilakukan uji diagnostic terhadap pasien TFS, HRT, dan konseling, baru dapat diputuskan langkah medis berikutnya seperti surgical therapy.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Dengan gejala klinis sebagai berikut:
Alat kelamin tidak jelas
Dan dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut:
Kariotip 46 XY
Kadar testosterone normal bagi pria
dapat disimpulkan bahwa bayi tersebut menderita penyakit testicular feminization syndrome yang merupakan penyakit bawaan genetika diturunkan oleh gene resesif tepaut kromosom X. Untuk menegakkan diagnosis, dapat dilakukan tes sebagai berikut: testosterone levels , XY karyotyping . Leutenizing Hormon (LH) levels, FSH levels, Sonogram, dan Androgen receptor studies . Untuk tindakan lebih lanjut sebaiknya dilakukan HRT dan konseling. Jika telah diputuskan jenis kelaminnya dan memenuhi syarat untuk dilakukannya operasi maka operasi harus cepat dilakukan untuk menghindari kemungkinan kanker di masa puber dan supaya perkembangan psikoseksualnya dapat berjalan senormal mungkin.
V. DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E. dkk, alih bahasa Drs. Med Moelia Radja Siregar, dkk. 1992. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi IV Jilid 2. Jakarta : EGC
e Medicine. 2007. Androgen insensitivity syndrome
http://www.emedicine.com/ped/topic2222.htm
Ganong, W.F. 1995. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
OMIM. 2007. Androgen insensitivity syndrome
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/dispomim.cgi?id=300068
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC
Murray, Robert K. 2003. Biokimia Harper. Jakarta : EGC
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi manusia : dari sel ke system. Edisi 2. Jakarta : EGC
Suryo. 2005.Genetika Manusia. Cetakan kedelapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wikipedia . 2007. Androgen insensitivity syndrome
http://en.wikipedia.org/wiki/Androgen_insensitivity_syndrome
Wikipedia. 2007. Androgen Reseptor. http://en.wikipedia.org/wiki/Androgen_receptor

1 comment:

Anonymous said...

Well written article.