Saturday, December 22, 2007

Refrat 1, Alternatif mendapatkan keturunan??

I. PENDAHULUAN
§ Definisi masalah
Akibat musibah gempa, Bapak Karyodimejo, 80 th, seluruh keluarga, yaitu anak, cucu, istri meninggal akibat musibah gempa, dia merisaukan tentang hartanya yang masih banyak dan dia tidak lagi memiliki keturunan. Karenanya, ia ingin memiliki keturunan lagi. Hambatan yang dialami untuk itu adalah karena sudah lanjut usia, ia menderita disfungsi seksual. Bapak Karyodimejo bertanya mengenai inseminasi buatan, bayi tabung. Andaikata ia menikah lagi, dan istrinya tidak dapat mengandung, dapatkah dilakukan penitipan pada wanita lain dengan imbalan? Seandainya ternyata dirinya azoospermia, apakah dapat dilakukan cloning pada dirinya?
Klarifikasi istilah:
· Inseminasi buatan adalah pembuahan sel telur oleh sperma secara buatan yang dilakukan diluar tubuh dan ditanam di tuba fallopi atau rahim / disuntikkanya sperma ke dalam vagina.
· Tidak adanya spermatozoa dalam semen atau kegagalan pembentukan spermatozoa. ( Dorland edisi 25)
· Bayi tabung adalah Pembuahan sel telu oleh sperma diluar tubuh manusia ( di dalam tabung petri) yang dilakukan oleh petugas medis.
· Teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya pada makhluk hidup.
· Disfungsi seksual adalah gangguan pada salah satu / lebih aspek fungsi seksual dimana fungsi seksual dalam tubuh seseorang mulai melemah.
§ Latar belakang masalah
Seiring dengan berkembangnya zaman, dunia kedokteran pun terus menerus berkembang. Kemajuan teknologi yang terus berkembang mengharuskan para dokter terus menjawab tantangan-tantangan tersebut. Dalam menjawab tantangan-tantangan tersebut, para dokter tidak boleh meninggalkan aspek-aspek penting seperti kode etik kedokteran, agama, dan hukum. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah aspek sosial budaya, mengingat Indonesia merupakan Negara yang menjunjung tinggi nilai moral dan kemanusiaan dalam kehidupan sosial budayanya.
§ Rumusan masalah
Mungkinkah dan bagaimana cara Bapak Karyodimejo memiliki keturunan? Bagaimana bayi tabung/ inseminasi buatan, kloning ditinjau dari segi sosial-budaya, agama , hukum, dan kode etik?
§ Tujuan penulisan
· Mengenali dimensi etik kedokteran dalam mengobati/ memperlakukan individu pasien sebagai individu dalam lingkip sosio-budayanya.
· Mengidentifikasi pertimbangan yang saling bertentangan dalam pilihan etik tertentu (identify the conflicting consi-derations in a particular ethical choice).
§ Manfaat penulisan
Sebagai sarana pembelajaran mengenai suatu kasus kedokteran ditinjau dari segi sosial-budaya, agama, hukum, dan kode etik kedokteran,

II. TINJAUAN PUSTAKA
a) KLONING
Hukum kloning menurut agama
· ISLAM
Kloning manusia haram menurut hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Berdasarkan:
§ Anak-anak produk proses kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak alami. Berdasarkan :(QS. An Najm : 45-46),(QS. Al Qiyaamah : 37-38)
§ Anak-anak produk kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak akan mempunyai ayah. (QS. Al Hujuraat : 13), (QS. Al Ahzaab : 5)
§ Kloning manusia akan menghilang nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah mewajibkan pemeliharaan nasab.
§ Memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’.
· KRISTEN
Menurut Kristen cloning tidak diperbolehkan karena punya anak bukan tujuan utama pernikahan sesuai dengan perkataan Yesus dalam Matius:19 ayat 4-5
· BUDHA
Sebaiknya tidak dilakukan tetapi jika diperlukan dan sangat mendesak diperbolehkan.
"Dengarkan, kaum Kalama, janganlah hanyut terbawa oleh ucapan seseorang atau tradisi atau desas-desus, atau karena tertulis dikitab suci, atau oleh pertimbangan: 'Pertapa itu adalah guruku....'. Tetapi, kaum Kalama, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal itu ... dicela oleh para bijaksana, dan bila dilakukan akan berakibat kerugian dan penderitaan, maka tolaklah hal itu. Sebaliknya, apabila kalian mengetahui sendiri bahwa hal-hal ini tidak tercela dan patut dipuji oleh para bijaksana, dan apabila dilakukan akan menghasilkan kesejahteraan dan kebahagiaan, maka lakukanlah dan binalah hal-hal itu (Kalama Sutta, Anguttara Nikaya,I)

Menurut hukum yang berlaku di Indonesia
Cloning tidak diperbolehkan karena bukan penyatuan sperma dan ovum dari pasutri. Hukum menyatakan bahwa teknologi reproduksi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma pasangan suami istri, bukan dengan penggabungan sel tubuh dengan ovum yang telah dihilangkan intinya. Berdasarkan UU No.23 Tahun 1992 dan Keputusan Menteri Kesehatan No.72/ Menkes/ Per/ II/ 99
Menurut kode etik kedokteran
Menolak dilakukan klonasi/Cloning pada manusia, karena upaya itu mencerminkan penurunan derajat serta martabat manusia sampai setingkat bakteri dan seterusnya. Menghimbau para ilmuan khususnya kedokteran agar tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia. Mendorong ilmuan untuk tetap memanfaatkan bioteknologi klonisasi pada sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan melalui pembuatan zat anti atau antigen monoclonal, yang dapat digunakan dalam bidang kedokteran baik aspek diagnostik maupun aspek pengobatan dan pada sel atau jaringan hewan dalam upaya penelitian kemungkinan melakukan klonasi organ, serta penelitian lebih lanjut kemungkinan diaplikasikannya klonasi organ manusia untuk dirinya sendiri (Revisi Kodeki Hasil Mukemas Etik Kedokteran III)
b) INSEMINASI BUATAN (BAYI TABUNG)
Menurut agama
Kristen : Diperbolehkan
Bayi tabung tidak dipermasalahkan ( dari pasangan suami istri ), dengan syarat:
§ Sperma & ovum berasal dari pasutri yang bersangkutan sehingga tidak terjadi perzinahan.
Dalam keadaan sangat terdesak dan menjaga keharmonisan rumah tangga.
Dilarang membunuh zygot.
Islam : Diperbolehkan
Dengan ketentuan:
Ø Sperma + ovum dari pasutri dicangkokkan ke rahim istri.
Ø Sperma suami dimasukkan ke saluran rahim istri ( Majelis mujamak Fiqih Islam )
Ø Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang meninggal HARAM ( Kaidah Saad Azariah )
Ø IVF pada wanita pasca menopause.
Menurut hukum
Ø UU No.23 Tahun 1992 pasal 16, BOLEH ; dengan syarat :
§ Sperma + ovum berasal dari pasutri
§ Ditanam di rahim istri
§ Dilakukan oleh tenaga kesehatan dan sarana kesehatan tertentu.
Ø UU No.39 Tahun 99 pasal 10 ayat 1, Tentang HAM
“ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah.”
Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya. Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum ps. 255 KUHPer. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan ps. 1320 dan 1338 KUHPer.)
Jika salah satu benihnya berasal dari donor. Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum ps. 250 KUHPer. Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum ps. 42 UU No. 1/1974 dan ps. 250 KUHPer.
Jika semua benihnya dari donor . Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah. Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya. Menurut kode etik kedokteran
Menurut FIGO beberapa ketentuan etik tentang teknik reproduksi buatan antar lain : (1) Preconceptional sex selection untuk maksud diskriminasi seks tidak dibenarkan namun untuk menghindari penyakit tertentu, seperti seks linked genetik disorder, penelitiannya dapat dilajutkan , (2) Reproductive cloning atau duplikasi manusia dilarang , (3) Therapeutic Cloning dapat disetujui ,Penelitian pada embrio manusia, sampai dengan 14 hari pasca fertilisasi (preembrio) tidak termasuk periode simpan beku, (4) Dapat diterima apabila tujuannya bermanfaat untuk kesehatan manusia, (5) Harus mendapat izin khusus pada pemilik pra embrio tersebut, (6) Harus disyahkan oleh sebuah komisi khusus atau badan tertentu yang mengatur untuk hal-hal tersebut, (7) Tidak boleh ditransfer kedalam uterus, kecuali apabila penelitian tersebut untuk mendapatkan out come kehamiloan yang baik, (8)Tidak untuk tujuan komersial.
III. PEMBAHASAN
Saat ini banyak terdapat teknologi reproduksi, seperti inseminasi buatan (bayi tabung) dan kloning. Di Indonesia, teknologi-teknologi seperti ini masih banyak dipermasalahkan, baik dari segi agama, hukum, kode etik, maupun sosial budaya. Saat ini, di Indonesia, kloning masih dijadikan sebuah pertentangan. Agama-agama yang ada di Indonesia seperti Islam, Kristen, dan Budha melarang dilakukannya kloning. Hal ini salah satunya didasari oleh ketidak-inginan manusia menyalahi kodratnya sebagai manusia. Namun, ada pula yang membenarkan dilakukannya proses kloning pada makhluk hidup selain pada manusia, seperti hewan untuk mendukung kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan, serta dalam memajukan bidang kedokteran. Berbeda dengan kloning, inseminasi buatan (bayi tabung) tidak selalu menjadi pertentangan, khususnya dalam hal keagamaan. Inseminasi buatan (bayi tabung) boleh dilakukan dengan menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku. Contohnya: agama Islam dan Kristen memperbolehkan asalkan ovum dan sperma diambil dari pasangan suami istri yang bersangkutan dan hasil peleburannya ditanam pada rahim istri.
Ditinjau dari kacamata hukum, kloning tidak diperbolehkan karena bukan penyatuan sperma dan ovum dari pasutri. Hukum menyatakan bahwa teknologi reproduksi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur dan sperma pasangan suami istri, bukan dengan penggabungan sel tubuh dengan ovum yang telah dihilangkan intinya. Berbeda dengan klonisasi, inseminasi buatan (bayi tabung) sudah mendapat legalisasi di Indonesia. Namun, masih banyak sekali undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang proses ini, misalnya peraturan yang meliputi bagaimana stasus anak yang akan dilahirkan kelak.
Kode etik kedokteran menolak dilakukan klonasi/Cloning pada manusia, karena upaya itu mencerminkan penurunan derajat serta martabat manusia sampai setingkat bakteri dan seterusnya. Menghimbau para ilmuan khususnya kedokteran agar tidak mempromosikan klonasi dalam kaitan dengan reproduksi manusia. Mendorong ilmuan untuk tetap memanfaatkan bioteknologi klonisasi pada hal-hal tertentu.
Pelaksanaan kloning masih sangat bertolakbelakang dengan kehidupan sosial dan budaya di Indonesia. Status anak adalah hal yang sangat penting dan akan berpengaruh pada kehidupannya kelak. Sedangkan pada inseminasi buatan (bayi tabung), anak akan memiliki status seperti anak pada umumnya, jika pelaksanaan bayi tabung mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku.


IV. KESIMPULAN
Pada kasus tersebut, Bapak Karyodimejo mungkin memiliki keturunan dan disarankan untuk menikah dengan wanita yang fertile. Karena ia telah mengalami disfungsi seksual maka sebaiknya ia mengambil program inseminasi buatan (bayi tabung) karena bayi tabung diperbolehkan agama, legal di mata hukum, sesuai dengan kode etik dan sosial-budaya bangsa Indonesia. Sedangkan pelaksanaan kloning dirasa sangat tidak memungkinkan dinilai dari segi agama, hukum, kode etik, dan sosial-budaya bangsa Indonesia.


oya,,, ini referensi yang bisa dipakai
http://www.lkht.net/artikel_lengkap.php?id=2
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/hukum-kloning/
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/06/teropong/resensi_buku2.htm
http://litbang.depkes.go.id/ethics/knepk/download%20dokumen

No comments: